Rabu, 15 Januari 2014

Segelas Susu




Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup sebagai pedagang asongan dari pintu ke pintu, biasanya dilakukan di kompleks-kompleks Rumah Dinas, kini kehabisan uang. Kondisinya saat itu sangat lapar.

Anak lelaki itu memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan  tetapi dia kehilangan keberanian saat seorang ibu muda istri pejabat membuka pintu. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air. Ibu muda itu tersebut melihat dan berpikir bahwa anak lelaki itu pasti kelaparan.

Oleh karena itu, ia membawakan segelas besar susu. Kemudian anak lelaki itu tersebut minum dengan lahapnya dan bertanya, “Berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini?”

Ibu itu menjawab, “Kamu tidak perlu membayar apa pun, orangtua kami dulu mengajarkan untuk tidak menerima bayaran jika melakukan suatu kebaikan.”

Sambil menghabiskan susunya, anak lelaki tersebut berkata dalam hatinya, “Dari hatiku yang terdalam, aku sangat simpati pada ibu yang berbaik hati ini. Dia tidak sombong sekalipun istri pejabat.”

Beberapa puluh tahun kemudian, ibu muda dahulu (yang kini sudah agak lanjut usianya) mengalami sakit yang sangat kritis. Balai pengobatan sudah tidak mampu lagi mengobati penyakit komplikasinya. Apalagi saat ini ia berstatus janda seorang pensiunan pegawai negeri. Atas saran keluarganya, si wanita ini dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pemerintah yang ada di kota tersebut untuk diobservasi. Namun tetap saja tidak bisa diobati.

Akhirnya, dengan menjual barang-barang tersisa dan atas bantuan rekan-rekan sesama janda pensiunan, si wanita ini dikirim ke ibukota karena di sana ada dokter yang mampu mengobati penyakit komplikasinya itu.

Dr. Sobur Nurjaman Ali dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal ibu tersebut, terbesit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Sobur. Segera ia bangkit mengenakan jubah dokternya dan bergegas turun melalui aula rumah sakit menuju kamar si wanita tersebut. Ia langsung mengenali wanita itu dengan sekali pandang.

Dr. Sobur kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan serangkaian medical chek up total serta terapi-terapi medis lainnya. “Pokoknya, ibu itu harus sembuh…”, demikian obsesinya.

Mulai hari itu, si ibu yang tergolek lemah tersebut menjadi perhatian Dr. Sobur dengan kasih yang tulus. Memasuki bulan ketiga di rumah sakit tersebut, ternyata si ibu benar-benar sembuh.

Lalu Dr. Sobur meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya guna persetujuan. Dr. Sobur melihatnya dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia merasa bahwa ibu itu tidak sanggup membayar tagihan tersebut.

Lembar tagihan akhirnya sampai ke tangan ibu yang malang itu. Dengan rasa was-was ia memberanikan diri membaca tagihan yang disodorkan bagian keuangan. Di sana tertera rincian biaya yang dikeluarkan selama ia menjalani pengobatan. Akan tetapi, ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi: “Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu!” Tertanda: Dr. Sobur Nurjaman Ali.

***

Segelas susu yang diberikan ibu muda tadi telah memberikan dampak luar biasa bagi seorang anak yang ternyata adalah Dr. Sobur Nurjaman Ali. Ketika memberi segelas susu bagi seorang anak miskin tersebut, si ibu tidak berpikir balasan yang akan diperoleh dari anak tersebut sekarang maupun nanti.

Semua sudah ada yang mengatur. Memberi dari kelebihan mungkin hal biasa yang sudah seharusnya dilakukan. Namun, ketika memberi dari kekurangan kita, di sinilah pemaknaan hidup yang lebih tinggi.

Bukan karena kaya kita bersedekah, namun karena sedekahlah kita menjadi kaya.

Sumber : Buku Setengah Isi Setengah Kosong, Parlindung Marpaung
              (MQS Publishing, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar