Jumat, 06 Maret 2015

Al-Balkhi dan Si Burung Pincang




Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham, yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.

Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, ia tidak ketinggalan untun berpamitan dengan sahabatnya. Namun belumlah seberapa lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia telah datang lagi.

Sahabatnya itu menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakan. Padahal negeri yang ditujunya itu juga sangat jauh letaknya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya.

“Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau begitu cepat pulang?”

“Dalam perjalanan”, jawab al-Balkhi, “aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan.”

“Keanehan apa yang kau maksud?”, tanya Ibrahim bin Adham penasaran.

“Ketika aku sedang istirahat di sebuah bangunan yang telah rusak”, jawab al-Balkhi menceritakan, “aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. ‘Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal dia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tidak bisa.’

“Tak lama kemudian”, lanjut al-Balkhi, “ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya dengan membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tidak pernah kekurangan makanan, karena ia berulang kali diberi makanan oleh temannya yang sehat.”

“Lantas ap hubungannya dengan kepulanganmu?”, tanya Ibrahim bin Adham yang belum jelas maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.

“Maka aku pun berkesimpulan seraya bergumam bahwa, ‘Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Tuhan Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupi rizkiku sekali pun aku tidak bekerja’. Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga.”, jelas al-Balkhi.

Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, “Wahai al-Balkhi sahabat karibku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela menyamakan derajatmu sejajar dengan seekor burung yang pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup atas belas kasihan dan bantuan orang lain?”

“Mengapa kamu tidak berfikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu untuk bekerja. Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia dari pada tangan di bawah.”, kata Ibrahim bin Adham menjelaskan.

Al-Balkhi pun kemudian menyadari akan kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung itu.

Saat itu pulalah ia kemudian bangkit dan memohon diri kepada Ibrahim bin Adham, lalu berangkatlah ia melanjutkan usaha dagangnya yang tertunda itu.

*****

Diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang yang memakan makanan selain dari pada memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud AS (merupakan contoh orang yang) makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari).

Sumber : Buku Abu Nawas dan Terompah Ajaib
              Penulis : Imam Musbikin & Aziz Mushoffa, Mitra Pustaka (2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar